Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, “Bagi seorang yang jatuh cinta, nama kekasih yang dicintainya tentu tidak akan lenyap dari dalam hatinya. Seandainya dia dibebani untuk melupakan kekasihnya dari ingatannya niscaya dia tidak mampu melakukannya. Seandainya dibebani untuk menahan lisan dari menyebut-nyebutnya niscaya dia pun tidak sanggup bersabar menahannya.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 560)
Imam asy-Syafi’i rahimahullah menyebutkan tiga buah amal yang paling utama, yang pertama kali beliau sebutkan adalah, “Berdzikir kepada Allah ta’ala.” (lihat Bustan al-‘Arifin oleh Imam an-Nawawi, hal. 99)
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Tidaklah samar bagi setiap muslim tentang urgensi dzikir dan begitu besar faidah darinya. Sebab dzikir merupakan salah satu tujuan termulia dan tergolong amal yang paling bermanfaat untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Allah telah memerintahkan berdzikir di dalam al-Qur’an al-Karim pada banyak kesempatan. Allah memberikan dorongan untuk itu. Allah memuji orang yang tekun melakukannya dan menyanjung mereka dengan sanjungan terbaik dan terindah.” (lihat dalam Fiqh al-Ad’iyah wa al-Adzkar [1/11])
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya dzikir kepada Allah akan menanamkan pohon keimanan di dalam hati, memberikan pasokan gizi dan mempercepat pertumbuhannya. Setiap kali seorang hamba semakin menambah dzikirnya kepada Allah niscaya akan semakin kuat pula imannya.” (lihat at-Taudhih wa al-Bayan li Syajarat al-Iman, hal. 57)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dzikir bagi hati laksana air bagi seekor ikan. Lantas apakah yang akan menimpa seekor ikan jika dia memisahkan diri dari air?” (lihat al-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim ath-Thayyib oleh Imam Ibnul Qayyim, hal. 71)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Hal itu [dzikir] adalah ruh dalam amal-amal salih. Apabila suatu amal tidak disertai dengan dzikir maka ia hanya akan menjadi ‘tubuh’ yang tidak memiliki ruh. Wallahu a’lam.” (lihat Madarij as-Salikin [2/441])
Berdzikir kepada Allah merupakan jalan untuk meraih kehidupan hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya adalah seperti perbandingan antara orang yang hidup dengan orang yang sudah mati.” (HR. Bukhari) (lihat al-‘Ibadat al-Qalbiyah, hal. 49)
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Oleh sebab itu dzikir kepada Allah jalla wa ‘ala merupakan hakikat kehidupan hati. Tanpanya, hati pasti menjadi mati.” (lihat Fawa’id adz-Dzikri wa Tsamaratuhu, hal. 16)
Dzikir juga merupakan obat bagi kerasnya hati. Suatu saat ada seorang lelaki yang mengadu kepada Hasan al-Bashri rahimahullah. Lelaki itu berkata, “Wahai Abu Sa’id, aku mengadukan kepadamu kerasnya hatiku.” Maka beliau berkata, “Lunakkanlah ia dengan dzikir.” (lihat Tazkiyatun Nufus wa Tarbiyatuha oleh Dr. Ahmad Farid, hal. 46)
Tanda hati yang hidup adalah khusyu’ ketika berdzikir kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk khusyu’ hati mereka karena mengingat Allah dan menerima kebenaran yang diturunkan. Janganlah mereka itu seperti orang-orang yang telah diberikan al-Kitab sebelumnya; berlalu masa yang panjang sehingga keraslah hati mereka, dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16) (lihat Mausu’ah Fiqh al-Qulub, hal. 1298)
Dzikir yang paling utama adalah dengan membaca al-Qur’an, sebab di dalamnya telah terkandung obat dan penyembuh bagi berbagai jenis penyakit hati; apakah itu penyakit syubhat maupun syahwat. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia, sungguh telah datang kepada kalian nasehat dari Rabb kalian dan obat bagi apa yang ada di dalam hati.” (QS. Yunus: 57) (lihat Tazkiyatun Nufus wa Tarbiyatuha, hal. 47)
Untaian Nasihat dan Hikmah Salafus Shalih
Tsabit al-Bunani rahimahullah berkata, “Apakah susahnya bagi salah seorang dari kalian jika dia hendak memanfaatkan waktu satu jam setiap harinya untuk berdzikir kepada Allah sehingga dengan sebab itu sepanjang hari yang dilaluinya dia akan meraih keberuntungan.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 346)
Makhul rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang menghidupkan malamnya dengan dzikir kepada Allah niscaya pada pagi harinya dia akan berada dalam keadaan suci seperti ketika dilahirkan oleh ibunya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 347)
‘Aun bin Abdullah bin ‘Utbah rahimahullah berkata, “Majelis-majelis dzikir adalah obat bagi hati.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 348)
‘Atho’ bin Maisarah al-Khurasani rahimahullah mengatakan, “Majelis-majelis dzikir adalah majelis-majelis yang membahas hukum halal dan haram [majelis ilmu, pent].” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 348)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan, “Memuji Allah -mengucapkan alhamdulillah atau semacamnya, pent- adalah dzikir sekaligus syukur. Tidak ada suatu hal [bacaan] yang menjadi dzikir dan syukur sekaligus selain bacaan itu.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 350)
Dzun Nun al-Mishri rahimahullah berkata, “Tidaklah terasa menyenangkan dunia kecuali dengan dzikir kepada-Nya. Tidak terasa menyenangkan akhirat kecuali dengan maaf/ampunan dari-Nya. Dan tidaklah memuaskan kenikmatan di surga kecuali dengan memandang -Nya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 350)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Barangsiapa yang mencintai al-Qur’an maka dia telah mencintai Allah dan Rasul-Nya.” (lihat Tazkiyatun Nufus wa Tarbiyatuha, hal. 48)
‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu mengatakan, “Seandainya bersih hati kalian niscaya ia tidak akan merasa kenyang dari menikmati kalam/ucapan Rabb kalian [yaitu al-Qur’an, pent].” (lihat Tazkiyatun Nufus wa Tarbiyatuha, hal. 48)
Kepada Allah lah kita memohon taufik dan pertolongan.